Kompolnas Temukan Dugaan Pungutan Ilegal oleh Anggota Polisi di DWP Malaysia
Kejadian yang mengejutkan terjadi di event Djakarta Wonderful Festival (DWP) yang diselenggarakan baru-baru ini. Sejumlah anggota kepolisian yang diduga terlibat dalam praktik pemerasan terhadap penonton asal Malaysia kini tengah menjadi sorotan. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Kompolnas) melaporkan bahwa sebanyak 18 anggota polisi terduga terlibat dalam aksi pemerasan tersebut. Temuan ini menunjukkan adanya permasalahan serius yang harus ditindaklanjuti oleh pihak berwenang.
Menurut informasi yang dihimpun, para anggota polisi tersebut diduga meminta sejumlah uang kepada penonton dengan dalih pengamanan. Situasi ini sangat meresahkan, terutama mengingat bahwa acara tersebut merupakan salah satu festival musik yang banyak diminati, bahkan oleh wisatawan asing. Penonton yang berasal dari luar negeri, khususnya Malaysia, menjadi korban dari tindakan tidak terpuji ini.
Ketua Kompolnas, Irjen Pol. Boy Rafli Amar, menyatakan bahwa pihaknya telah menerima banyak laporan tentang dugaan pemerasan ini. “Kami sangat menyesalkan adanya tindakan yang mencoreng nama baik institusi kepolisian. Ini jelas merupakan pelanggaran serius yang harus ditindak secara hukum. Kami akan melakukan investigasi mendalam untuk memastikan semua yang terlibat mendapatkan sanksi yang tegas,” ungkap Boy. Pernyataan ini menunjukkan keseriusan Kompolnas dalam menangani isu pelanggaran hak asasi manusia dan tindakan kriminal yang dilakukan oknum di dalam institusi polisi.
Dugaan pemerasan tersebut melibatkan penonton yang datang untuk menikmati pertunjukan musik DWP. Beberapa di antara mereka melaporkan bahwa mereka diminta membayar sejumlah uang saat akan memasuki area acara. Praktik semacam ini bukan hanya mencoreng citra polisi, tetapi juga merugikan perekonomian lokal yang bergantung pada pariwisata. Penonton menjadi enggan untuk datang ke acara-acara serupa jika merasakan ketidaknyamanan dan ketidakamananan.
Salah satu penonton asal Malaysia yang enggan disebutkan namanya, mengatakan, “Kami datang untuk bersenang-senang, tetapi pengalaman ini sangat mengecewakan. Kami merasa tertekan dan dipaksa untuk membayar uang tanpa alasan yang jelas. Ini adalah pengalaman buruk yang akan kami ingat.” Pengalaman tersebut tentunya berpotensi menurunkan minat masyarakat internasional untuk menghadiri festival-festival musik di Indonesia jika tidak ada penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran semacam ini.
Pihak Dinas Pariwisata Jakarta juga menyatakan keprihatinan atas kejadian ini. Mereka melihat kejadian ini dapat berdampak signifikan pada citra pariwisata Jakarta yang berusaha keras untuk menarik pengunjung dari luar negeri. “Kami sangat mendukung langkah Kompolnas dalam menyelidiki dan menangani masalah ini. Keamanan dan kenyamanan pengunjung adalah prioritas kami, dan kami tidak ingin kejadian semacam ini mengganggu pengalaman mereka,” kata Kepala Dinas Pariwisata Provinsi DKI Jakarta, Arief Yahya.
Lebih lanjut, dalam investigasinya, Kompolnas berencana untuk memanggil setiap anggota yang terlibat untuk memberikan keterangan. Ini merupakan langkah penting untuk mengumpulkan bukti dan mengidentifikasi pola perilaku yang dilakukan oleh anggota-anggota tersebut. Terungkapnya skid ini tentu saja menimbulkan gelombang reaksi dari berbagai pihak, termasuk masyarakat yang menuntut kejelasan dan tindakan tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh oknum polisi.
Sementara itu, pengacara hak asasi manusia, Veronica Koman, memberikan pandangannya terkait isu ini. Ia menekankan pentingnya lembaga kepolisian untuk melakukan evaluasi internal. “Kasus pemerasan oknum polisi bukanlah kejadian baru, namun menimbulkan keprihatinan yang mendalam. Penting bagi kepolisian untuk bertanggung jawab dan melakukan reformasi dalam tubuh institusi agar kepercayaan masyarakat bisa dipulihkan. Tanpa langkah-langkah signifikan, kekerasan dan pemerasan ini akan terus berlangsung,” tegasnya.
Peristiwa pemerasan ini menunjukkan bahwa tantangan untuk menegakkan keadilan dan melindungi hak-hak warga negara masih harus dihadapi. Meski pengawasan internal di tubuh kepolisian sudah ada, namun dibutuhkan transparansi dan komitmen untuk mengatasi setiap pelanggaran yang dilakukan oleh anggotanya. Penegakan hukum yang adil dan transparan akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap kepolisian sebagai institusi yang seharusnya melindungi dan mengayomi masyarakat.
Dengan adanya laporan ini, masyarakat juga diharapkan lebih berani untuk melaporkan setiap tindakan pemerasan yang mereka alami. Laporan dari masyarakat akan menjadi salah satu faktor utama untuk mendorong reformasi di dalam institusi kepolisian. Selain itu, penting untuk menjalin komunikasi yang baik antara aparat penegak hukum dan komunitas untuk menciptakan rasa saling percaya dan menghormati hak asasi manusia.